KUNINGAN — Di sebuah desa kecil bernama Benda, jauh dari gemerlap kota dan hiruk-pikuk media sosial, sekelompok pemuda sedang menempa diri. Bukan untuk mencari ketenaran, bukan pula untuk mengejar pujian. Mereka datang untuk satu alasan: menjadi penjaga.
Sebanyak 45 peserta dari berbagai penjuru Kecamatan Luragung mengikuti Diklatsar Banser (Pendidikan dan Pelatihan Dasar) yang digelar oleh PAC GP Ansor dan Satkoryon Banser Luragung selama tiga hari, 25–27 Juli 2025.
Pelatihan ini bukan hanya ajang pelatihan fisik dan disiplin militer ala organisasi keagamaan. Ia adalah proses perendaman nilai: cinta tanah air, keikhlasan, dan kesetiaan kepada ajaran Islam Ahlussunnah wal Jamaah.
Di bawah tenda sederhana dan langit terbuka, para peserta tidur beralaskan tikar, makan dengan menu seadanya, dan belajar tanpa keluh. Setiap malam, mereka mendengarkan materi tentang ke-NU-an, nasionalisme, hingga kesiapsiagaan bencana. Siang harinya, mereka latihan baris-berbaris, simulasi tugas pengamanan, serta praktik tanggap darurat.
“Banser bukan hanya pasukan apel. Banser adalah panggilan iman. Ketika negara memanggil, ketika umat menangis, kita harus sudah berdiri duluan,” ujar Dr. Wahyu Hidayah, Kasatkorcab Banser Kuningan, saat membuka kegiatan.
Wahyu hadir mewakili Bupati Kuningan, dan menyampaikan bahwa peran Banser hari ini semakin strategis. Bukan sekadar pengamanan kegiatan keagamaan, tetapi juga sebagai pelindung desa, relawan bencana, bahkan pendamping masyarakat digital di era perubahan.
Pesan senada disampaikan M. Muhaimin, Ketua PC GP Ansor Kuningan, yang dikenal dengan gaya khasnya.
“Banser kudu bisa sagalana. Di masjid, hadir. Di jalan, hadir. Di hati masyarakat, lebih hadir lagi. Itulah Banser Kuningan.”
Diklatsar kali ini juga menjadi momentum pemantapan identitas organisasi. H. Muhammad Rasdi dari PW GP Ansor Jawa Barat menekankan pentingnya kaderisasi yang adaptif. Banser tak boleh terjebak romantisme masa lalu, tapi harus siap menjemput tantangan zaman.
“Di era disrupsi ini, Banser harus bisa jadi agen literasi, fasilitator digitalisasi desa, bahkan duta kebudayaan. Kita tidak boleh hanya menjadi sejarah. Kita harus menulis sejarah,” tegasnya.
Kegiatan yang berlangsung selama tiga hari ini ditutup dengan apel dan ikrar sumpah pengabdian. Suasana haru menyelimuti saat satu per satu peserta mencium bendera merah putih dan mengucap janji untuk setia kepada ulama dan negeri.(Agni)