Dalam hidup ini, sering kali kita menunda rasa syukur hanya karena merasa belum memiliki segalanya. Kita menunggu hidup sempurna—rezeki berlimpah, rumah besar, keluarga ideal, jabatan tinggi—baru kemudian merasa pantas mengucap syukur. Padahal, bahagia tidak datang dari kesempurnaan, melainkan dari hati yang mampu melihat makna di balik kesederhanaan.
Saur Kang Yai
“Jangan tunggu sempurna untuk bersyukur, karena justru dari syukur yang sederhana itulah, Allah hadirkan kebahagiaan yang luar biasa.”
Kalimat ini bukan sekadar pengingat, tapi juga pelajaran tentang bagaimana Allah membentuk hati yang lapang melalui rasa cukup. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman:
لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ
“Jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu…”
(QS. Ibrahim: 7)
Rasa syukur yang tumbuh dari hal-hal kecil—sehatnya badan, senyuman anak, secangkir kopi pagi, suara azan subuh—adalah akar dari kebahagiaan sejati. Ia tidak membutuhkan validasi dari dunia luar, karena ia tumbuh dari dalam jiwa yang sadar bahwa nikmat Allah selalu hadir, bahkan dalam bentuk yang paling sederhana.
Nabi Muhammad SAW sendiri adalah teladan utama dalam bersyukur. Beliau tetap banyak bersujud dan menangis dalam tahajjud, meskipun telah dijamin surga. Ketika ditanya mengapa beliau melakukan semua itu, Rasulullah menjawab:
“أفلا أكون عبداً شكوراً؟”
“Tidakkah aku menjadi hamba yang banyak bersyukur?”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Maka, mari kita ubah cara pandang. Jangan menunggu semua serba sempurna. Bersyukurlah hari ini. Bersyukurlah meski masih tertatih. Karena syukur bukan sekadar ucapan, tapi juga bentuk penerimaan dan penghormatan atas setiap jatah kehidupan yang Allah titipkan.
Saur Kang Yai hari ini mengajak kita untuk menyederhanakan bahagia dengan mensyukuri apa yang sudah ada, bukan menunggu apa yang belum tiba…djz
SaurKangYai adalah kumpulan ceramah KH. Yayat Hidayat ( Pengasuh Pontren Daarul mukhlishin)